Persoalan Jalan Kemal Attaturk
![]() |
Persoalan Jalan Kemal Attaturk, oleh: Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB). Foto: Instagram. |
Persoalan nama Jalan Kemal Attaturk kini mencuat ke permukaan dan menimbulkan polemik pro dan kontra. Usut punya usut ternyata, persoalan ini timbul sebagai akibat dari permintaan Pemerintah RI agar nama jalan di dekat KBRI Ankara diganti dengan nama Jalan Sukarno, Proklamator dan Presiden RI.
Permintaan itu
dikabulkan Pemerintah Turki. Sebagai balasannya, Pemerintah Turki juga meminta
hal yang sama. Agar ada jalan namanya Kemal Attaturk, tidak jauh-jauh dari
Kedutaan Turki di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Mustafa Kemal Pasya
atau Kemal Attaturk adalah tokoh kontroversial. Bukan saja di Turki pada
zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri Muslim yang lain. Kemal
adalah pemimpin militer Turki yang mengambil alih kekuasaan kekhalifahan di
negaranya dan membubarkannya. Dia membentuk sebuah Republik bercorak sekuler.
Kekhalifahan Turki yang berdiri sejak zaman Osmaniyah dan dianggap simbol
pemerintahan Islam dia bubarkan. Kemal “memisahkan” antara agama (Islam) dengan
negara.
Ketika Kemal
mengambil alih kekuasaan, Kekhalifahan Turki memang sedang redup. Turki yang
bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I mengalami kekalahan. Turki yang
mulai lemah baik dari segi militer maupun ekonomi dipaksa mengikuti kehendak
Inggris dan sekutunya. Sementara Khalifah Turki tetap hidup glamor dan
bermewah-mewah dalam suasana negara sedang terpuruk. Pembangunan Istana super
mewah Tohkapi di Istambul, dilakukan di zaman Turki sedang terpuruk itu. Istana
itu tak sempat dihuni oleh Sultan Turki teakhir Mehmet VI karena keburu
dikudeta Attaturk tahun 1924.
Kehidupan Sultan dan
bangsawan Turki menuai kritik di dunia Islam sendiri karena dianggap jauh dari
nilai-nilai Islam. Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Sukarno tentang
“persatuan agama dengan negara” menjelang kita merdeka mengatakan, dalam
suasana seperti itu tidak perlu lagi “agama dipisahkan dengan negara” seperti
diinginkan Sukarno, sebab dalam kenyataannya Islam sudah lama “dipisahkan” dengan
negara seperti ditunjukkan oleh prilaku penguasa Kekhalifahan Turki itu.
Sementara usul
mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin yang sudah diusulkan
DPRD DKI ke Gubernur, belum juga dilaksanakan. Usul tokoh-tokoh Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) agar Jalan Kramat Raya diganti namanya dengan Jalan
Mohammad Natsir, sampai sekarang nampaknya belum digugris oleh Gubernur Anis
Baswedan.
Di negara kita,
urusan nama jalan adalah urusan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat hanya dapat
mengusulkan kepada Pemda untuk memberi nama atau mengubah nama jalan yang sudah
ada. Gubernur Anis Baswedan yang mendapat dukungan umat Islam melawan Ahok dan
AHY dalam Pilkada DKI mestinya tidak ada keberatan apapun dan tidak
berlama-lama mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin. Jalan
Kramat Raya dengan Jalan Mohammad Natsir. Jalan Matraman Raya dengan Jalan
Kasman Singodimedjo. Jalan Warung Buncit dengan Jalan AH Nasution.
Dari pengalaman
permintaan resiprokal Pemerintah Turki, entah apakah itu pemerintahan Presiden
Edrogan — yang sepanjang pemahaman saya lebih cenderung ke Islam yang beda
dengan Sekukarisme Attaturk— ataukah hanya permintaan Kedubes Turki di Jakarta,
saya tidak tahu. Ke depan sebaiknya kita tidak usah lagi minta negara lain
memberi nama jalan dengan tokoh-tokoh bangsa kita. Sebab, jika mereka juga
minta nama tokoh mereka dijadikan nama jalan di Jakarta, kita bisa pusing
sendiri.
Di masa lalu, kita
pernah dengan inisiatif sendiri memberi nama jalan dengan tokoh negara lain.
Ambil contoh Jalan Patrice Lumumba misalnya yang terletak antara Jalan Gunung
Sahari dengan Bandara Kemayoran zaman dulu. Lumumba adalah pemimpin Republik
Congo di Afrika. Dia dikudeta dan oleh lawan-lawannya dan dituduh Komunis.
Di zaman Orba yang anti
Komunis, nama Jalan Patrice Lumumba diganti dengan Jalan Angkasa sampai
sekarang. Nama Angkasa terkait dengan bandara, walau Bandara Kemayoran sudah
sejak 1984 pindah ke Cengkareng. Kita tidak merasa berat menggantinya karena
nama Jalan Patrice Lumumba karena kita berikan sendiri, bukan atas permintaan
Pemerintah Congo.
Dilema Nama
Jalan
Saya kira memberi
nama jalan dengan nama tokoh atau pahlawan memang akan selalu berhadapan dengan
dilema. Seseorang menjadi pahlawan atau menjadi pengkhianat, disukai atau
dibenci, sangat tergantung kepada situasi politik pada suatu zaman. Andai ada
nama Jalan DN Aidit pada zaman Orde Lama, hampir dapat dipastikan nama jalan
itu akan diganti di zaman Orde Baru.
Mohammad Natsir
adalah “pemberontak PRRI” di zaman Orla dan Orba. Di zaman Orref (Orde
Reformasi) beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Persepsi masyarakat
selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Begitulah sejarah manusia.
Implikasi politik
dari apa yang terjadi di Turki zaman itu gaungnya terasa di negeri kita.
Kelompok “Nasionalis sekular” merasa senang dengan kehadiran Attaturk.
Sebaliknya para tokoh “Nasionalis Islam” berada dalam kecemasan. Tahun-tahun
1920an itu di negara kita sedang terjadi polemik ideologis yang luas tentang
Islam dan Nasionalisme dan masalah hubungan “agama” dengan “negara”.
Polemik antara
Sukarno dan Mohammad Natsir seperti telah saya singgung di atas, tentang
hubungan agama pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di negeri kita,
dilatar-belakangi oleh kebangkitan nasionalisme dan sekularisme di Turki.
Perdebatan dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan “de filosofische grondslag”
(dasar falsafah negara) yang berujung kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta,
juga bertalian dengan hubungan antara Islam dengan negara pada sebuah negara
modern.
Karena itu, kalau
sekarang ini masih ada rasa ketidaksukaan sebagian masyarakat kita terhadap
Kemal Attaturk, hal itu memang wajar. Sebab, ketegangan pemikiran antara Islam
dan Sekularisme dengan berbagai variannya, mulai dari yang moderat dan menerima
Pancasila sampai yang ingin mendirikan kembali “negara khilafah” hingga kini
tetap berlangsung di negeri kita. Walau intensitasnya, tebtu tidak sekeras
menjelang kemerdekaan tahun 1945, menjelang Pemilu 1955 dan sidang Konstituante
1957 serta di masa awal Orde Baru tahun 1967.
Pelajaran
Penting
Karena Pemerintah
kita yang lebih dulu meminta Pemerintah Turki mengganti nama sebuah jalan yang
“berbau” Belanda dengan nama Jalan Sukarno, maka wajar saja jika secara
resiprokal, Turki meminta hal yang sama. Orang Turki nampaknya tidak
mempersoalkan pergantian nama jalan dengan nama Jalan Sukarno.
Tetapi di negeri
kita, nama Jalan Attaturk yang diminta Pemerintah Turki itu membuat pusing
banyak orang. Bahkan kini berkembang banyak rumors Pemerintah akan memberi nama
banyak jalan dengan nama tokoh-tokoh kiri dan Komunis: Jalan Stalin, Kruschev,
Jalan Mao Zedong, Jalan Ho Chi Minh dan entah jalan siapa lagi tokoh-tokoh
Komunis yang pernah ada di dunia ini.
Post a Comment